Jika pertanyaan itu kita tujukan kepada orang yang sedang lewat,
apakah jadinya? Kemungkinan besar orang yang ditanya itu akan bengong
dan sambil berlalu dia akan membatin, “Orang sinting”. Dengan
jari tangannya menyilang di jidatnya. Ya, siapakah yang tidak bingung
jika ada orang datang kepada kita kemudian bertanya, “Siapakah dirinya?”. Kita yang ditanyapun akan mengelus dada,”Ironis sekali orang ini. “ Begitu pikiran kita. Jika dia tidak kenal siapa dirinya, lantas siapa lagi yangakan kenal dirinya? Dunia ini aneh-aneh saja.
Eit, tetapi nanti dulu ! Mari kita coba kupas lebih dalam. Faktanya,
ketika orang ditanyakan siapakah dirinya pasti semua orang akan
kebingungan. Jika nama panggilannya ‘Fulan’, maka ketika ditanyakan,
yang mana yang disebut Fulan? Dimanakah Fulan. Siapakah Fulan? Mereka
akan balik bertanya ke dalam diri mereka, “Iya, ya, siapakah Fulan ini? Siapakah aku ini ? Dimanakah Fulan? Dimanakah aku? Sebuah paradoks yang mengelitik kita semua.
Ketika telunjuknya mengarah ke dada, “Ini dada si Fulan, bukan aku”, ketika di menunjuk tangan, maka dijawabnya “Ini tangan si Fulan, bukan aku”, jika di menunjuk seluruh anggota badannya, jawabannya pasti akan sama saja. “Ini tangan Fulan, ini kaki Fulan, ini mata Fulan, ini telinga Fulan,”
Maka yang manakah yang disebut Fulan itu? Maka yangmanakah yang disebut
aku itu?dan seterusnya, bahkan ketika sudah meninggalpun akan disebut
sebagai, “Ini bangkai Fulan, bukan aku.” Membingungkan bukan? “Lantas siapakah sebenarnya aku ini?”
Sebuah kejadian yang sangat biasa dan terkesan wajar saja di seputar
kita. Menjadi pertanyan yang serius dan menjadi keprihatinan bersama, “Jika
kita tidak mengenal diri kita sendiri maka siapakah yang akan kenal
diri kita?” Dan ketika orang tidak mengenal hakekat diri mereka itu
apakah jadinya? Perumpamaannya adalah; Ketika kucing tidak mengenal
dirinya bahwa dia adalah seekor kucing, apakah yang dapat kita liat
dari perumpamaan itu? Apalagi jika kucing berperilaku sebagaimana cacing
apakah yang dapat kita amati dari kejadian ini? Tentu saja kita smeua
akan tersenyum geli dan prihatin sekali.
“Kucing kok berperilaku seperti cacing? Dunia sudah terbalik-balik”
Mungkin itu pemikiran kita semua. Kucing diharapkan akan berperilaku
sebagaimana kucing. Ada hukum-hukum universal kucing yang harus dipatuhi
agar dirinya tidak keluar dari fitrahnya sebagai kucing. Jika kucing
berperilaku sebagaimana cacing maka tunggulah saatnya kucing itu pasti
akan dimusnahkan alam. Sederhana sekali bukan? Mari kita dekatkan
analogy ini kepada diri manusia. Bagaimanakah jika manusia itu tidak
mengenal bahwa dirinya adalah ‘manusia’. Apa jadinya jika manusia tidak
berperilaku sebagaimana manusia. Bukankah alam akan memusnahkan ras
manusia ini?
Oleh karena itu, penting sekalibagi manusia untuk mengenal hakekat
manusia. Dengan demikian manusia tidak akan salah menganggap dirinya
itu. Jangan bertindak sebagaimana kucing yang merasa bahwa dirinya
adalah cacing, kemudian berperilaku seperti cacing. Bukankah akan aneh
jadinya? Disinilah titik krusial yang harus disampaikan, agar kita tidak
salah dalam berspiritual. Mengenal hakekat “Siapakah aku”. Pertanyaan inilah yang biasanya dilontarkan kepada kita saat memasuki spiritual.
Mengenal hakekat diri kita sendiri. “Benarkah diri kita manusia?
Sudahkah diri kita berperilaku sebagaimana standar normal manusia?
Standar seperti apakah yang digunakan sehingga kita patut disebut
manusia?” Maka pertanyaan “Siapakah aku ?” Layaknya ditujukan kepada diri kita masing-masing. “Siapakah aku? Apakah aku manusia atau bukan? Apakah aku ini nyata atau ghaib?” Keyakinan
inilah yang menjadi pondasi terpenting dalam menjalani laku spiritual.
Sebab pertanyaan ini akan selalu berkaitan dengan standart universal
yang sudah disepakti oleh alam. Standart bisa disebut manusia adalah
abcd, standart di sebut kucing adalah abcd.
Apapun Entitas yang ada di alam semesta dikenali karena memiliki
karakteristik yang sudah dispekati. Jika keluar dari pakem yang ada maka
dia akan dikeluarkan dari sana. Kucing akan dikeluarkan dari dimensi
alam kucing jika perilakunya seperti cacing. Dia tidak akan pernah
diterima oleh keluarga besar kucing. Kehadirannya akan ditolak oleh
dimensi alam kucing. Maka diharpkan kepada kucing untuk tidak
beranggapan bahwa dirinya adalah cacing. Sebab atas anggapan kepada
dirinya sendiri yang tidak sebagaimana mestinya inilah, inilah yang akan
menyebabkan kucing tidak diterima di dimensi kucing.
Berangkat dari ilustrasi tersebut, maka anggapan “Siapakah aku?”
ini menjadi sangat penting dalam pondasi spiritual. Manakala kita salah
menganggap keadaan jatidirinya sendiri maka dia akan sulit kembali
kepada Tuhannya. Sehingga dalam hadist Qudsi yang sangat terkenal
disebutkan ;
“Aku adalah sebagaimana prasangka hamba-Ku”
Yah, aku adalah sebagaimana prasangka kita terhadap diri kita
sendiri. Sederhana saja, parsangka itulah yang akan menjadikan diri kita
seperti apa, yang kita ingini. Jika kita ber anggapan atau ber
prasangka bahwa diri kita kucing ya kita akan jadi kucing. Jika kita
berprasangka diri kita harimau ya kita kan jadi harimau. Perilaku kita
akan meniru dan berbuat seperti apa yangkita pikirkan. Dalam bahasa
sederhananya, jiwa kita dibentuk oleh MINDSET kita sendiri. Pembentukan
mindset inilah yangemmegang peranan sangat penting bagi KESADARAN
manusia.
Kita bisa berprasangka menjadi apa saja, atau sebagai apa saja, angan
bisa kita liar kan untuk berbuat semau-mau kita. Namun ingatlah, alam
memiliki standart khusus atas karakteristik atas entitas yang layak
disebut ‘manusia’. Alam menjaga sangat ketat, ‘Quality Control’ KAMI
bekerja dengan sangat teliti. Maka jika raga mereka manusia tetapi
perilaku mereka tidak sebagaimana manusia. Maka kita akan dianggap
sebagai produk GAGAL oleh alam semesta. Dan kita tahu, perlakuan kepada
produk gagal di pabrik adalah dihancurkan atau di bakar. Sebuah hal
yang sangat logis sekali. Maka jika kita di bakar yang memang sudah
seharusnya.
+++
Kembali kepada pertanyaan “Siapakah aku?” Jawabanya adalah sederhana
“Kamu adalah MANUSIA”, namun persoalannya bagi kita tidak sesederhana
jawaban itu, jika dirinya tidak mengerti dan tidak memahami apa yang di
maksud manusai maka dia tidak akan mendapatkan referensi apa-apa, maka
dia juga tidak akan beranggapan hal yang sama. Mereka senantiasa dalam
anggapan-anggapan yang keliru. Maka agama memberikan petunjuk
bagaimanakah perilaku manusia yang sejati. Dari kita-kitab sucilah kita
akan mendapatkan gambaran seperti apakah entitas yang layak di sebut
manusia itu.
Karena itu, persoalan menjawab pertanyaan “Siapakah aku?”
menjadi pelik sekali. Masing-masing orang dengan anggapan dan prasangka
mereka sendiri. Prasangka inilah yang terus membutakan diri kita.
Sehingga saat mana diberitahukan siapakah sejatinya keadaan dirinya.
Setiap diri kita tetap tidak percaya dan tidak yakin atas keadaan. Kita
justru akan terus bingung mempertanyakan itu lagi dan lagi. Padahal
kita sudah diberikan kitab ilmu pengetahuan. Ketidak tahuan dan ketidak
mengertian koordinat posisi jiwa, ke tidak pahaman posisi mereka di alam
semesta, atas tujuan hidup, visi danmisi mereka di duni, inilah yang
menyebabkan kegamangan dalam mengarungi TAKDIR mereka. Sebab kita tidak
tahu siapakah diri kita itu, “Siapakah aku?” selalu pertanyaan
itu. Dan kita memang tidak pernah selesai dengan diri kita sendiri.
Inilah masalahnya yangmenjadi sebab mereka tidak mampu mengenali diri
sendiri.
+++
Kita telah ulas bahwa kriteria entitas manusia adalah sebagimana yang
dimaksudkan dalam kitab-kitab suci. Perilaku mansuia adalah seperti
itu. Kita sduah pahami dan mengerti. Maka seharusnya manusia yang
mengerti dan memaham keadaan dirinya akan berperilaku sebagaimana yang
dimaksudkan dalam kitab suci. Sebab standart manusia yang layak disebut
manusia bagi alam semesta adalah sebagaimana yang sudah di standartkan
Tuhan, dan alam hanya menjalankan perintah Tuhan, untuk melakukan
pengawasan kualitas diri manusia. Disitulah dimensi keberadaan ‘sang
aku’
Maka setiap diri yang berperilaku sebagaimana manusia yang
dimaksudkan kitab suci itulah yang layak disebut ‘aku’ ‘Dan memang
begitulah seharusnya aku ! Maka pernyataan ini diulang kembali. “Setiap diri yang berperilaku sebagai mana manusia adalah entitas yang disebut ‘aku’.”
Aku selalu patuh kepada Tuhannya, aku selalu belajar, aku selalu sadar,
aku selalu menyembah, aku selalu menjauhi larangan,aku selalu
menjalankan perintah-Nya, dan aku slelau berserah kepada-Nya. Itulah aku
!. maka aku yang mana lagi yang kamu mau!
Tunjuklah hidung kita sendiri, apakah ‘aku’ sudah seperti itu? Apakah
perilaku kita sudah sebagaimana yang di persyaratkan al qur an. Kalau
belum pertanyakanlah ‘Siapakah aku?” Siapakah sesungguhnya yang
berada di dalam raga ini? Apakah entitas lainnya, atau apakah ‘aku’
ini, jika tidak bisa berbuat dan berperilaku sebagaimana manusia?
Sudahkah kita bertanya itu kepada diri sendiri?
Tuhan sudah memberikan standart entitas yang kemudian layak disebut
MANUSIA. Semua tergantuang PRASANGKA dan ANGGAPAN kita saja.
Bagaimanakah MINDSET kita kepada diri kita. Sudah diberikan petunjuka
kepada kita semua. “Aku adalah sebagaimana PRASANGKA hamba-KU”. Sudah lupakah kita atas penciptaan manusia. Perahatikan saat mana penciptaan, “…sudah ditiupkan minruhi (Ruh-KU)…”.
Prasangka apakah yang akan kita nisbatkan kepada entitas diri kita
yang sejati ini. Masihkah kucing akan terus ber PRASANGKA sebagai
CACING. Walaupun sudah sampai kepada dirinya khabar KEBENARAN. Sungguh
keji lah anggapan kita itu, jika kita terus begitu.
Maka kita harus selesai dengan diri kita sendiri menyoal ini.
Selesaikanlah pertanyaan “Siapakah aku!”. Apakah anggapan kita perihal
‘aku’. Selesaikanlah, atau kita akan terus berputar-putar disini, tidak
bergerak kepada penyempurnaan Jiwa. Sekali lagi ini hanya menyoal
PRASANGKA. Seperti apakah prasangka kita terhadap diri kita. Maka
selesaikanlah prasangka, dan buatlah sebuah keyakinan atas hal ini.
+++
“Aku seorang kapiten, mempunyai pedang panjang, kalau berjalan prok-prok..aku seorang kapiten”
Masih ingat kepada lagu ini. Itulah anggapan diri kita saat kecil.
Yah, masih lebih bagus anggapan itu. Anak kecil mampu menjawab
pertanyaan yang sulit itu. “Siapakah aku?” Maka dia akanmenjawab dengan tegas dan dalam keyakinan utuh. “Aku seorang kapiten !”
Adakah kita semua mempunyai keyakinan yang sama? Dan dengan dada dibusungkan berani mengatakan, “Aku
adalah manusia, sejatinya manusia, aku berjalan di muka bumi ini
sebagai manusia. Aku menyandang asma-Nya yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Aku sebagai wakil-Nya. Itulah aku !. Adakah yang berani
mengabaikan keberadaanku, wahai seluruh makhluk di alam semesta. ”
Beranikah ?
Maka pertanyaan “Siapakah aku?” Kembali layak kita tanyakan kepada diri kita sendiri. Seperti apakah PRASANGKA (anggapan) diri kita atas ‘aku’ ini.