Rabu, 25 Februari 2015

Siapa Aku

Jika pertanyaan itu kita tujukan kepada orang yang sedang lewat,  apakah jadinya? Kemungkinan besar orang yang ditanya itu akan bengong dan sambil berlalu dia akan membatin, “Orang sinting”. Dengan jari tangannya menyilang di jidatnya. Ya, siapakah yang tidak bingung jika ada orang datang kepada kita kemudian bertanya, “Siapakah dirinya?”. Kita yang ditanyapun akan mengelus dada,”Ironis sekali orang ini. “ Begitu pikiran kita. Jika dia tidak kenal siapa dirinya, lantas siapa lagi yangakan kenal dirinya? Dunia ini aneh-aneh saja.


Eit, tetapi nanti dulu !  Mari kita coba kupas lebih dalam. Faktanya, ketika orang ditanyakan siapakah dirinya pasti semua orang  akan kebingungan. Jika nama panggilannya ‘Fulan’, maka ketika ditanyakan, yang mana yang disebut Fulan? Dimanakah Fulan. Siapakah Fulan?  Mereka akan balik bertanya ke dalam diri mereka, “Iya, ya, siapakah Fulan ini? Siapakah aku ini ? Dimanakah Fulan? Dimanakah aku? Sebuah paradoks yang mengelitik kita semua.
Ketika telunjuknya mengarah ke dada,  “Ini dada si Fulan, bukan aku”, ketika di menunjuk tangan, maka dijawabnya “Ini tangan si Fulan, bukan aku”, jika di menunjuk seluruh anggota badannya, jawabannya pasti akan sama saja.  “Ini tangan Fulan, ini kaki Fulan, ini mata Fulan, ini telinga Fulan,” Maka yang manakah yang disebut Fulan itu? Maka yangmanakah yang disebut aku itu?dan seterusnya, bahkan ketika sudah meninggalpun akan disebut sebagai, “Ini bangkai Fulan, bukan aku.” Membingungkan bukan? “Lantas siapakah sebenarnya aku ini?”
Sebuah kejadian yang sangat biasa dan terkesan wajar saja di seputar kita. Menjadi pertanyan yang serius dan  menjadi keprihatinan bersama, “Jika kita tidak mengenal diri kita sendiri maka siapakah yang akan kenal diri kita?” Dan ketika orang tidak mengenal hakekat diri mereka itu apakah jadinya? Perumpamaannya adalah; Ketika kucing tidak mengenal dirinya bahwa dia adalah seekor kucing, apakah yang dapat kita liat dari perumpamaan itu? Apalagi jika kucing berperilaku sebagaimana cacing apakah yang dapat kita amati dari kejadian ini? Tentu saja kita smeua akan tersenyum geli dan prihatin sekali.
“Kucing kok berperilaku seperti cacing? Dunia sudah terbalik-balik” Mungkin itu pemikiran kita semua. Kucing diharapkan akan berperilaku sebagaimana kucing. Ada hukum-hukum universal kucing yang harus dipatuhi agar dirinya tidak keluar dari fitrahnya sebagai kucing. Jika kucing berperilaku sebagaimana cacing maka tunggulah saatnya kucing itu pasti akan dimusnahkan alam. Sederhana sekali bukan? Mari kita dekatkan analogy ini kepada diri manusia. Bagaimanakah jika manusia itu tidak mengenal bahwa dirinya adalah ‘manusia’. Apa jadinya jika manusia tidak berperilaku sebagaimana manusia. Bukankah alam akan memusnahkan ras manusia ini?
Oleh karena itu, penting sekalibagi manusia untuk mengenal hakekat manusia. Dengan demikian manusia tidak akan salah menganggap dirinya itu. Jangan bertindak sebagaimana kucing yang merasa bahwa dirinya adalah cacing, kemudian berperilaku seperti cacing. Bukankah akan aneh jadinya? Disinilah titik krusial yang harus disampaikan, agar kita tidak salah dalam berspiritual. Mengenal hakekat “Siapakah aku”.  Pertanyaan inilah yang biasanya dilontarkan kepada kita saat memasuki spiritual.
Mengenal hakekat diri kita sendiri. “Benarkah diri kita manusia? Sudahkah diri kita berperilaku sebagaimana standar normal manusia? Standar seperti apakah yang digunakan sehingga kita patut disebut manusia?” Maka pertanyaan “Siapakah aku ?” Layaknya ditujukan kepada diri kita masing-masing. “Siapakah aku? Apakah aku manusia atau bukan? Apakah aku ini nyata atau ghaib?” Keyakinan inilah yang menjadi pondasi terpenting dalam menjalani laku spiritual. Sebab pertanyaan ini akan selalu berkaitan dengan standart universal yang sudah disepakti oleh alam. Standart bisa disebut manusia adalah abcd, standart di sebut kucing adalah abcd.
Apapun Entitas yang ada di alam semesta dikenali karena memiliki karakteristik yang sudah dispekati. Jika keluar dari pakem yang ada maka dia akan dikeluarkan dari sana. Kucing akan dikeluarkan dari dimensi alam kucing jika perilakunya seperti cacing. Dia tidak akan pernah diterima oleh keluarga besar kucing. Kehadirannya akan ditolak  oleh dimensi alam kucing. Maka diharpkan kepada kucing untuk tidak beranggapan bahwa dirinya adalah cacing. Sebab atas anggapan kepada dirinya sendiri yang tidak sebagaimana mestinya inilah, inilah yang akan menyebabkan kucing tidak diterima di dimensi kucing.
Berangkat dari ilustrasi tersebut, maka anggapan “Siapakah aku?” ini menjadi sangat penting dalam pondasi spiritual. Manakala kita salah menganggap keadaan jatidirinya sendiri maka dia akan sulit kembali kepada Tuhannya. Sehingga dalam hadist Qudsi yang sangat terkenal disebutkan ;
“Aku adalah sebagaimana prasangka hamba-Ku”
Yah, aku adalah sebagaimana prasangka  kita terhadap diri kita sendiri. Sederhana saja, parsangka itulah yang akan menjadikan diri kita seperti apa, yang kita ingini. Jika kita ber anggapan atau ber prasangka bahwa diri kita kucing ya kita akan jadi kucing. Jika kita berprasangka diri kita harimau ya kita kan jadi harimau. Perilaku kita akan meniru dan berbuat seperti apa yangkita pikirkan. Dalam bahasa sederhananya, jiwa kita dibentuk oleh MINDSET kita sendiri. Pembentukan mindset inilah yangemmegang peranan sangat penting bagi KESADARAN manusia.
Kita bisa berprasangka menjadi apa saja, atau sebagai apa saja, angan bisa kita liar kan untuk berbuat semau-mau kita. Namun ingatlah, alam memiliki standart khusus atas karakteristik atas entitas yang layak disebut ‘manusia’. Alam menjaga sangat ketat, ‘Quality Control’ KAMI bekerja dengan sangat teliti.  Maka jika raga mereka manusia tetapi perilaku mereka tidak sebagaimana manusia. Maka kita akan dianggap sebagai produk GAGAL oleh alam semesta. Dan kita tahu, perlakuan kepada produk gagal di pabrik  adalah dihancurkan atau di bakar. Sebuah hal yang sangat logis sekali. Maka jika kita di bakar yang memang sudah seharusnya.
+++
Kembali kepada pertanyaan “Siapakah aku?” Jawabanya adalah sederhana “Kamu adalah MANUSIA”, namun persoalannya bagi kita tidak sesederhana jawaban itu, jika dirinya tidak mengerti dan tidak memahami apa yang di maksud manusai maka dia tidak akan mendapatkan referensi apa-apa, maka dia juga tidak akan beranggapan hal yang sama. Mereka senantiasa dalam anggapan-anggapan yang keliru. Maka agama memberikan petunjuk bagaimanakah perilaku manusia yang sejati. Dari kita-kitab sucilah kita akan mendapatkan gambaran seperti apakah entitas yang layak di sebut manusia itu.
Karena itu, persoalan menjawab pertanyaan  “Siapakah aku?” menjadi pelik sekali. Masing-masing orang dengan anggapan dan prasangka mereka sendiri. Prasangka inilah yang terus membutakan diri kita. Sehingga saat mana diberitahukan siapakah sejatinya keadaan dirinya. Setiap diri kita tetap tidak percaya dan tidak yakin atas keadaan. Kita justru  akan terus bingung mempertanyakan itu lagi dan lagi.  Padahal kita sudah diberikan kitab ilmu pengetahuan. Ketidak tahuan dan ketidak mengertian koordinat posisi jiwa, ke tidak pahaman posisi mereka di alam semesta, atas tujuan hidup, visi danmisi mereka di duni,  inilah yang menyebabkan kegamangan dalam mengarungi TAKDIR mereka. Sebab kita tidak tahu siapakah diri kita itu, “Siapakah aku?” selalu pertanyaan itu. Dan kita memang tidak pernah selesai dengan diri kita sendiri. Inilah masalahnya yangmenjadi sebab mereka tidak mampu mengenali diri sendiri.
+++
Kita telah ulas bahwa kriteria entitas manusia adalah sebagimana yang dimaksudkan dalam kitab-kitab suci. Perilaku mansuia adalah seperti itu. Kita sduah pahami dan mengerti. Maka seharusnya manusia yang mengerti dan memaham keadaan dirinya akan berperilaku sebagaimana yang dimaksudkan dalam kitab suci. Sebab standart manusia yang layak disebut manusia bagi alam semesta adalah sebagaimana yang sudah di standartkan Tuhan, dan alam hanya menjalankan perintah Tuhan, untuk melakukan pengawasan kualitas diri manusia. Disitulah dimensi keberadaan ‘sang aku’
Maka setiap diri yang berperilaku sebagaimana manusia yang dimaksudkan kitab suci itulah yang layak disebut ‘aku’ ‘Dan  memang begitulah seharusnya aku ! Maka pernyataan ini diulang kembali. “Setiap diri yang berperilaku sebagai mana manusia adalah entitas yang disebut ‘aku’.” Aku selalu patuh kepada Tuhannya, aku selalu belajar, aku selalu sadar, aku selalu menyembah, aku selalu menjauhi larangan,aku selalu menjalankan perintah-Nya, dan aku slelau berserah kepada-Nya. Itulah aku !. maka aku yang mana lagi yang kamu mau!
Tunjuklah hidung kita sendiri, apakah ‘aku’ sudah seperti itu? Apakah perilaku kita sudah sebagaimana yang di persyaratkan al qur an. Kalau belum pertanyakanlah ‘Siapakah aku?” Siapakah sesungguhnya yang berada di dalam raga ini? Apakah entitas lainnya, atau apakah ‘aku’ ini, jika tidak bisa berbuat dan berperilaku sebagaimana manusia? Sudahkah kita bertanya itu kepada diri sendiri?
Tuhan sudah memberikan standart entitas  yang kemudian layak disebut MANUSIA. Semua tergantuang PRASANGKA dan ANGGAPAN kita saja. Bagaimanakah MINDSET kita kepada diri kita. Sudah diberikan petunjuka kepada kita semua. “Aku adalah sebagaimana PRASANGKA hamba-KU”. Sudah lupakah kita atas penciptaan manusia. Perahatikan saat mana penciptaan, “…sudah ditiupkan minruhi (Ruh-KU)…”. Prasangka apakah  yang akan kita nisbatkan kepada entitas diri kita yang sejati ini. Masihkah kucing akan terus ber PRASANGKA sebagai CACING. Walaupun sudah sampai kepada dirinya khabar KEBENARAN. Sungguh keji lah anggapan kita itu, jika kita terus begitu.
Maka kita harus selesai dengan diri kita sendiri menyoal ini. Selesaikanlah pertanyaan “Siapakah aku!”. Apakah anggapan kita perihal ‘aku’. Selesaikanlah, atau kita akan terus berputar-putar disini, tidak bergerak  kepada penyempurnaan Jiwa. Sekali lagi ini hanya menyoal PRASANGKA. Seperti apakah prasangka kita terhadap diri kita. Maka selesaikanlah prasangka, dan buatlah sebuah keyakinan atas hal ini.
+++
“Aku seorang kapiten, mempunyai pedang panjang, kalau berjalan prok-prok..aku seorang kapiten”
Masih ingat kepada lagu ini. Itulah anggapan diri kita saat kecil. Yah, masih lebih bagus anggapan itu. Anak kecil mampu menjawab pertanyaan yang sulit itu. “Siapakah aku?” Maka dia akanmenjawab dengan tegas dan dalam keyakinan utuh. “Aku seorang kapiten !”
Adakah kita semua mempunyai keyakinan yang sama? Dan dengan dada dibusungkan berani mengatakan, “Aku adalah manusia, sejatinya manusia, aku berjalan di muka bumi ini sebagai manusia. Aku menyandang asma-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang. Aku sebagai wakil-Nya. Itulah aku !. Adakah yang berani mengabaikan keberadaanku, wahai seluruh makhluk di alam semesta. ”
Beranikah ?
Maka pertanyaan “Siapakah aku?” Kembali layak kita tanyakan kepada diri kita sendiri. Seperti apakah PRASANGKA (anggapan) diri kita atas ‘aku’ ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar